Bentengpos.id — Kajian hukum mengenai suap dan gratifikasi adalah jantung dari upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Meskipun secara umum dipahami sebagai tindakan haram, seringkali ada kerancuan, terutama ketika subjek hukumnya adalah seorang calon kepala daerah yang belum resmi menjabat.
Namun, dari kacamata hukum pidana, status “calon” sama sekali tidak menjadi tameng dari jerat korupsi.
Secara fundamental, suap adalah kejahatan transaksional. Ini melibatkan dua pihak aktif pemberi dan penerima dengan motif tersembunyi yang saling menguntungkan.
Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jelas mengancam pidana bagi siapa pun yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau penyelenggara negara dengan maksud agar mereka berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban.
Sebaliknya, Pasal 12 UU Tipikor mengkriminalisasi penerima suap. Intinya, ada kesepakatan jahat dan tujuan mempengaruhi keputusan atau tindakan seorang pejabat.
Sementara itu, gratifikasi memiliki nuansa yang sedikit berbeda. Ia adalah pemberian dalam arti luas yang bisa bersifat pasif, artinya diterima tanpa adanya permintaan.
Namun, di sinilah letak jebakannya. Pasal 12B UU Tipikor menegaskan bahwa gratifikasi akan dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas seorang pejabat, dan yang terpenting, tidak dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam waktu 30 hari kerja.
Presumsi suap ini adalah senjata ampuh untuk menjerat praktik-praktik terselubung yang merusak integritas.
Ini adalah poin krusial dalam opini ini. Sering muncul persepsi keliru bahwa tindakan korupsi hanya bisa dikenakan pada mereka yang sudah resmi menjabat.
Namun, hukum kita tidak sesempit itu. Frasa “setiap orang” yang digunakan dalam banyak pasal UU Tipikor menunjukkan bahwa siapa pun, tanpa memandang status jabatannya, dapat dijerat jika unsur-unsur pidana terpenuhi.
Mari kita analogikan:
-
Calon sebagai Pemberi Suap: Jika seorang calon kepala daerah memberikan uang atau janji kepada pihak-pihak tertentu (misalnya, anggota DPRD untuk mendapatkan dukungan pencalonan, atau penyelenggara pemilu untuk manipulasi suara, atau bahkan pemilih dalam bentuk politik uang) dengan tujuan mempengaruhi hasil pemilihan atau mendapatkan keuntungan yang tidak sah, maka ia dapat dijerat sebagai pemberi suap berdasarkan Pasal 5 UU Tipikor. Motifnya jelas: untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara kotor.
-
Calon sebagai Penerima Suap/Gratifikasi: Bagaimana jika seorang calon menerima dana dari pengusaha, misalnya, yang berharap mendapatkan proyek atau kemudahan izin setelah calon tersebut terpilih? Di sinilah niat jahat (mens rea) menjadi kunci. Jika ada indikasi bahwa penerimaan dana tersebut dimaksudkan sebagai “modal politik” yang akan “dibayar balik” setelah menjabat, maka calon tersebut dapat dijerat sebagai penerima suap. Demikian pula dengan gratifikasi jika calon menerima hadiah mewah yang jelas terkait dengan potensi jabatannya kelak, dan tidak melaporkannya, hadiah itu bisa dianggap suap. Ini karena meskipun belum menjabat, kapasitasnya sebagai calon sudah membentuk ekspektasi dan potensi konflik kepentingan.
Tambahan pula, Undang-Undang Pilkada sendiri memiliki ketentuan yang melarang praktik politik uang, dengan sanksi pidana dan/atau pembatalan calon.
Ini menunjukkan komitmen hukum untuk menjaga integritas proses demokrasi sejak tahap awal.
Kajian hukum ini menegaskan bahwa jerat pidana korupsi tidak menunggu seseorang resmi dilantik. Justru, pemahaman ini penting untuk mencegah praktik culas sejak masa kampanye dan pencalonan.
Ketika calon kepala daerah sadar bahwa tindakan suap atau gratifikasi sebelum terpilih pun dapat membawa mereka ke balik jeruji besi, diharapkan mereka akan lebih berhati-hati.
Transparansi dana kampanye, pengawasan ketat dari Bawaslu, peran aktif masyarakat sipil, dan ketegasan aparat penegak hukum menjadi kunci untuk membersihkan arena Pilkada dari praktik kotor ini.
Dengan menegakkan hukum secara konsisten, kita bisa mengirimkan pesan jelas bahwa pintu gerbang kekuasaan tidak boleh dibuka dengan kunci korupsi.
Apakah penegakan hukum terhadap calon kepala daerah yang terjerat suap dan gratifikasi akan menjadi prioritas utama demi menciptakan Pilkada yang bersih?