Legitimasi Sosial Versus Legitimasi Hukum dalam Perubahan Nama RSD Benteng

Edukasi Moral

Candra Irawan. S., S.IP. (Pemuda Bengkulu Tengah)

Bentengpos.id — Penamaan RSD Sungai Lemau di kalangan masyarakat lokal (terutama di Kecamatan Karang Tinggi) dapat menimbulkan konflik persepsi identitas geografis.

Hal ini menunjukkan adanya jurang pemisah antara Legitimasi Hukum (yang mungkin sudah dipenuhi dengan adanya Peraturan Bupati/Perbup) dan Legitimasi Sosial (penerimaan oleh masyarakat).

Dengan memilih nama yang identik dengan Kecamatan lain (Sungai Lemau/Pondok Kelapa), Pemerintah Kabupaten secara tidak langsung telah menciptakan disorientasi identitas bagi masyarakat di Kecamatan Karang Tinggi, lokasi fisik rumah sakit tersebut.

Konsekuensi terburuknya adalah melemahnya rasa kepemilikan (sense of belonging) masyarakat setempat terhadap rumah sakit.

Jika masyarakat lokal tidak merasa memiliki nama tersebut, upaya partisipasi dan dukungan terhadap pengembangan rumah sakit di masa depan dapat terhambat.

Aset Publik dan Identitas, Rumah sakit daerah adalah aset milik seluruh Bengkulu Tengah. Penamaan yang terlalu spesifik pada satu ciri geografis yang tidak sesuai dengan lokasi fisiknya (seperti Sungai Lemau) berpotensi menciptakan persepsi “keberpihakan” atau “salah alamat” yang sulit dipertanggungjawabkan secara logis kepada publik.

Poin mengenai penolakan DPRD Kabupaten Bengkulu Tengah sebagai indikator isu kesepakatan dan aspirasi sangat krusial.

Dalam konteks otonomi daerah, DPRD adalah representasi resmi masyarakat yang memiliki fungsi pengawasan dan legislasi. Penolakan mereka adalah sinyal kuat bahwa keputusan ini cacat dalam aspek akuntabilitas politik.

Meskipun dasar hukum (Perbup) sudah terbit, keputusan publik yang baik harus memenuhi tiga syarat: legalitas (hukum), rasionalitas (logika administratif dan geografis), dan akseptabilitas (penerimaan sosial).

Jika nama RSD Sungai Lemau hanya memenuhi syarat legalitas tetapi gagal memenuhi syarat rasionalitas (geografis) dan akseptabilitas (penerimaan publik dan DPRD), maka legitimasi kebijakan tersebut secara keseluruhan dapat dipertanyakan, meskipun secara hukum formal sudah berlaku.

Untuk mengatasi konflik ini, Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah idealnya perlu mempertimbangkan beberapa hal:

  1. Revisi Nama: Mengkaji ulang nama dengan mencari nama yang lebih netral (seperti kembali ke “RSD Bengkulu Tengah”) atau nama yang lebih sesuai dengan identitas lokal Karang Tinggi (misalnya, menggunakan nama tokoh atau ciri khas Kecamatan Karang Tinggi yang lebih strategis).

  2. Dialog Publik: Melakukan dialog terbuka dan mediasi dengan DPRD serta tokoh masyarakat Karang Tinggi untuk mencari nama yang disepakati bersama.

Intinya, dalam tata kelola pemerintahan yang baik, produk hukum harus selalu didukung oleh dukungan sosial.

Tanpa dukungan itu, implementasi kebijakan, dalam hal ini penerimaan nama rumah sakit, akan terus terkendala oleh resistensi lokal.

Opini oleh: Candra Irawan. S., S.IP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *